CITRA MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM DAN
BARAT
Makalah
ini disusun untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Islam dan Psikologi
Oleh
Laila Atiqah (11140700000090)
KELAS 5A
Dosen
: Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis haturkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah berjudul Citra Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam dan
Barat. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Islam dan Psikologi Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini berjalan
atas dukungan dan bimbingan dari dosen kami. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku dosen Islam dan
Psikologi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna
oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga
makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dan bermakna bagi pembaca.
Jakarta, Januari 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR i
DAFTAR
ISI ii
BAB
I PENDAHULUAN
Latar belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1
BAB II LANDASAN TEORI
Citra Manusia dalam Psikologi Islam 2
Citra Manusia dalam Psikologi Barat Kontemporer 4
Implikasi Fitrah dan Citra Manusia 8
BAB
III PENUTUP 12
DAFTAR
PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kajian tentang manusia saat ini sangat
menarik dan diminati untuk dipelajari. Hal ini karena objek yang dipelajari
unik dan dapat menghasilkan berbagai persepsi dan konsepsi yang berbeda. Fenomena
seperti itu dapat dipahami, sebab keberadaan manusia di dunia bukan sekadar ada dan berada, tetapi lebih penting lagi, ia dapat mengada. Ia berperan sebagai obyek dan subyek sejarah, bahkan mampu
mengubahnya. Kehidupannya dinamis dan secara kualitatif berevolusi untuk
mencapai kesempurnaan. Karena itulah maka kajian tentang manusia, tanpa
mengenal perbedaan zaman, selalu relevan dan tidak akan pernah mengalami kadaluwarsa.
Maksud citra manusia adalah
gambaran tentang diri manusia yang berhubungan dengan kualitas-kualitas asli manusiawi.
Kualitas tersebut merupakan sunnah Allah
yang di bawa
sejak dilahirkan. Kondisi citra manusia secara potensial tidak dapat berubah,
sebab jika berubah maka eksistensi manusia menjadi hilang. Namun secara aktual, citra itu dapat berubah
sesuai dengan kehendak dan pilihan manusia sendiri.
Citra manusia yang
dimaksud dalam perspektif psikologi Islam adalah fitrah. Karena penciptaannya
tidak ada perubahan,
sebab jika berubah maka eksistensi manusia akan hilang. Dalam literarur Islam,
istilah fitrah memiliki makna yang beragam karena disebabkan oleh pemilihan
sudut makna. Fitrah dapat dimaknai secara etimologi (basic meaning), terminologi, bahkan nasabi (relational meaning). Masing-masing makna tersebut memiliki
implikasi psikologis.
Berdasarkan paparan di atas, tulisan ini disusun untuk menjelaskan citra manusia dalam perspektif psikologi Islam dan
barat serta implikasinya.
1.2 Rumusan
Masalah
a.
Apa pengertian
citra manusia?
b.
Bagaimana citra
manusia dalam perpsektif psikologi Islam?
c.
Bagaimana citra
manusia dalam perspektif psikologi barat?
1.3 Tujuan
a.
Untuk mengetahui
pengertian citra manusia.
b.
Untuk mengetahui
citra manusia dalam perspektif psikologi Islam.
c.
Untuk mengetahui
citra manusia dalam perspektif psikologi barat.
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1
Citra Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam
Citra manusia yang
penciptaannya tidak ada perubahan merupakan fitrah, sebab jika berubah maka eksistensi
manusia akan hilang. QS. al-Rum:30 menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh
Allah SWT menurut fitrahnya. Keajegan fitrah sebagai pertanda agama yang lurus,
walaupun hal itu tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Oleh sebab itu, untuk
mengetahui citra manusia maka dapat ditelurusi hakikat fitrah.
2.1.2
Makna Fitrah
Dalam literarur Islam, istilah
fitrah memiliki makna yang beragam karena disebabkan oleh pemilihan sudut
makna. Fitrah dapat dimaknai secara etimologi (basic meaning), terminologi, bahkan nasabi (relational meaning). Masing-masing makna tersebut memiliki
implikasi psikologis.
a. Makna
Etimologi
Fitrah berarti
“terbukanya sesuatu dan melahirkannya”, seperti orang yang berbuka puasa. Dari
makna dasar tersebut dapat berkembang menjadi dua makna pokok yaitu fitrah
berarti al-insyiqâq atau al-syaqq yang berarti al-inkisâr (pecah atau belah) dan fitrah
berarti al-khilqah, al-jihad, atau al-ibda’ (penciptaan).
Kedua makna tersebut
sebenarnya saling melengkapi. Makna al-insyiqâq
digunakan untuk pemaknaan alam (al-kawn),
namun sebenarnya dapat dipergunakan untuk manusia. Manusia merupakan miniatur
alam yang kompleks. Fisiknya menggambarkan alam fisikal, sedang psikisnya
menggambarkan alam kejiwaan. Segala proses taqdîr
atau sunnah Allah SWT yang berlaku
pada alam (al-kawn) sebenarnya juga
berlaku pada manusia,
seperti konsep penciptaan. Sedangkan fitrah berarti “penciptaan” merupakan
makna yang lazim dipakai dalam penciptaan manusia, baik penciptaan fisik (al-jism) maupun psikis (al-nafs).
b. Makna
Nasabi
Makna nasabi diambil dari beberapa ayat dan
hadits Nabi di mana kata fitrah
itu berada. Karena masing-masing ayat dan hadits meimiliki konteks yang berbeda
maka pemaknaan fitrah juga mengalami keragaman.
Pertama,
fitrah berati suci (al-thuhr).
Menurut al-Awzaiy, fitrah memiliki makna kesucian (al-thuhr). “Setiap anak tidak dilahirkan kecuali dalam kondisi
fitrah (suci). Maka kedua orang
tuanya
yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, Majusi atau musyrik.: (HR.
al-Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah). Maksud
suci disini bukan berarti kosong atau netral (tidak memiliki kecenderungan
baik-buruk) sebagaimana yang diteorikan oleh John Locke atau Psiko-Behavioristik,
melainkan kesucian psikis yang terbebas dari dosa warisan dan penyakit
ruhaniah.
Kedua,
fitrah berarti potensi ber-Islam
(al-dinn al-Islamiy).
Pemaknaan semacam ini dikemukakan oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti
beragama Islam.
Pemaknaan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah
penyerahan kepada yang Mutlak (ber-Islam). Tanpa ber-Islam berarti
kehidupannya telah berpaling (al-inkhirâf)
dari fitrah asalnya. Ber-islam ditandai dengan penyerahan pada ayat-ayat Qurani dan kauni Allah SWT.
Ketiga,
fitrah berarti mengakui ke-esa-an Allah
(tawhid Allah).
Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak, ia berkecenderungan
untuk mengesakan Tuhan, dan berusaha secara terus-menerus untuk mencari dan
mencapai ketauhidan tersebut.
Keempat,
fitrah berarti kondisi selamat (al-salâmah)
dan kontinuitas (al-istiqâmah).
Menurut ‘Abd Al-Bar; fitrah secara aktual tidak mengandung iman dan kufur, juga
tidak mengenal Allah atau mengingkari-Nya.
Fitrah secara potensial berarti keselamatan dalam proses penciptaan, watak dan
strukturnya. Iman dan kufurnya baru tumbuh setelah manusia mencapai akil
baligh, sebab ketika masih bayi atau anak-anak, mereka belum mampu berpikir,
apalagi menerima keberadaan tuhan (QS. al-Nahl:78).
Kelima,
fitrah berarti perasaan yang tulus (al-ikhlâsh). Manusia lahir dengan membawa sifat baik. Diantara
sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan aktivitas.
Pemaknaan tulus ini merupakan konsekuensi fitrah manusia yang harus berpotensi
islam dan tauhid.
Keenam,
fitrah berarti kesanggupan atau predisposisi untuk menerima kebenaran (isti’dâd li qabûl al-haq). Secara fitri
manusia lahir cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran, walaupun
pencarian itu masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam.
Ketujuh,
fitrah berarti potensi dasar manusia atau perasaan untuk beribadah (syu’ur li al-‘ubudiyah) dan makrifat
kepada Allah. Aktivitas manusia merupakan tolak ukur pemaknaan fitrah. Manusia
diperintahkan beribadah agar mengenal Allah. Ibadah merupakan bentuk
aktualisasi diri yang suci dan tertinggi (QS. Yasin:22)
Kedelapan,
fitrah berarti ketetapan atau takdir
asal manusia mengenai kebahagiaan (al-sa’âdaṯ)
dan kesengsaraan (al-syaqâwaṯ) hidup.
Manusia lahir dengan membawa ketetapan, apakah nantinya ia menjadi orang yang
bahagia atau celaka. Semua ketetapan itu menurut fitrah asalnya. Pemaknaan
fitrah yang tepat adalah potensi manusia untuk menjadi orang yang baik atau
buruk, bahagia atau celaka.
Kesembilan,
fitrah berarti tabiat atau watak asli manusia (thabi’iyah al-insân/human nature). Ibnu Taimiyah membedakan
antara fitrah dan tabiat. Fitrah meruapakan potensi bawaan yang berlebel islam
dan berlaku untuk semua manusia. Sedangkan tabiat merupakan sesuatu yang
ditentukan atau ditulis oleh Allah melalui ilmu-Nya.
Kesepuluh,
fitrah berarti sifat-sifat Allah SWT yang ditiupkan pada setiap manusia sebelum
dilahirkan. Bentuk-bentuknya adalah asmaul
husna atau 99 nama yang indah. Tugas manusia adalah mengaktualisasikan
fitrah asma al-husna itu
sebaik-baiknya, dengan cara transinternalisasi sifat-sifat itu kedalam
kepribadiannya.
Kesebelas,
fitrah dalam beberapa hadis memiliki beberapa arti. Diantaranya takdir atau status anak yang dilahirkan
(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah); hari yang tidak diwajibkan
berpuasa (HR. al-Turmuzi dari Abu Hurairah); dan shalat idhul fitri (HR.
al-Nasa’i dari Umar ibn al-Khattab).
c.
Makna
Terminologi
Berdasarkan makna
etimologi dan nasabi dapat
disimpulkan bahwa secara terminologi fitrah adalah citra asli yang dinamis,
yang terdapat pada sistem-sistem psikofisik manusia, dan dapat diaktualisasikan
dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal
penciptaannya.
2.2
Citra Manusia dalam
Psikologi Barat Kontemporer
Pemahaman tentang citra
manusia sangat
beragam, tergantung pada latar belakang dimana citra itu terumuskan. Misalnya
latar belakang agama, ideologis bangsa, cara pandang, pendekatan studi dan
sebagainya.
Aliran Psiko-Analisis adalah
aliran psikologi yang menekankan analisis struktur kejiwaan manusia yang
relatif stabil dan menetap. Aliran ini dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939)
yang kemudian disempurnakan oleh Carl Gustav Jung dan Erik H. Erikson. Ciri
utama aliran ini adalah :
1. Menentukan
aktivitas manusia berdasarkan struktur jiwa yang terdiri atas id, ego
dan superego.
2. Penggerak
utama struktur manusia alah libido,
sedangkan libido yang terkuat adalah libido seksual. Karenanya, hampir
seluruh tingkah laku manusia teraktual disebabkan oleh motivasi libido seksual.
3. Tingkat
kesadaran manusia terbagi atas alam pra-sadar (the preconscious), alam tak-sadar (the unconscious) dan alam sadar (the conscious).
Dengan pembagian tiga
aspek struktur kepribadian, maka tingkat tertinggi struktur kepribadian manusia
adalah moralitas, sosialitas dan tidak menyentuh pada aspek keagamaan. Freud
menyatakan bahwa tingkatan moralitas digambarkan sebagai tingkah laku yang
irasional sebab tingkah laku ini hanya mengutamakan nilai-nilai luas, bukan
nilai-nilai yang berada dalam kesadaran manusia sendiri.
Teori Freud ini banyak
mendapatkan kecaman dari psikolog lain. Paul Riccoeur misalnya menyatakan bahwa
teori Freud telah memperkuat pendapat orang-orang ateis, tetapi ia belum mampu
meyakinkan atau membersihkan iman orang-orang yang beragama. Carl G. Jung—seorang putra
mahkotanya sendiri tetapi kemudian membangkangnya—terpaksa mengadakan
penelitian pada miotologi, agama, alkemi dan astrologi. Penelitiannya ini dapat
membantu kejelasan archetype-archetipe yang sulit diperoleh dari sumber-sumber
kontemporer. Selanjutnya Allport juga membantah teori Freud. Para psikolog
kontemporer tidak berhasil menemukan patologi-patologi yang terjadi pada pemeluk
agama yang salih. Pemeluk agama yang salih justru mampu mengintegrasikan
jiwanya dan mereka tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara
serius. Dengan uraian ini maka perlu penambahan aspek lain dari struktur
kepribadian manusia. Aspek yang dimaksud adalah aspek agama (religious).
Kedua, ketidakmampuan Freud
dalam mengkaver aspek keagamaan alam struktur kepribadian disebabkan oleh
1. Objek
penelitian empiriknya difokuskan pada manusia-manusia sakit yang terganggu
emosinya, seperti manusia lumpuh, pincang, dan kerdil kejiwaannya. Ia justru
meninggalkan penelitian pada manusia-manusia yang sehat ruhaninya;
2. Hirarki
struktur kepribadian yang dibangun Freud terdiri atas alam pra sadar, alam
tidak sadar, dan alam sadar, belum menyentuh pada alam supra sadar atau atas
sadar, sedangkan agama merupakan aspek kepribadian yang berada pada alam supra
sadar.
3. Agama
yang menjadi fokus penelitian Freud lebih diorientasikan pada agama-agama
primitive (seperti animisme dan dinamisme), bukan agama samawi yang rasional atau
supra rasional. Atau objek penelitiannya pada pemeluk agama yang belum matang
tingkat keberagamaannya, sehingga konklusinya belum menyentuh pada substansi
ajaran agama yang sebenarnya. Dengan alasan ini maka teori struktur Freud tidak
akan mampu mengenal nilai-nilai agama.
Ketiga,
motivasi yang mendorong kepribadian adalah insting
hidup yang disebut dengan libido. Libido yang
paling dominan dalam kepribadian manusia adalah libido seksual yang terletak
pada struktur id (aspek biologis manusia). Hal itu menunjukkan bahwa
aktualisasi aspek psikologis dan sosiologis manusia hanya dimotivasi oleh peran
seks (syahwat). Apabila peran seks tidak berkeinginan untuk diaktualisasikan
berarti aspek psikologis dan sosiologis tidak akan terealisir, namun apabila ia
berkeinginan untuk diaktualisasikan maka aktualitas itu sebenarnya merupakan
tuntutan keprimitifan tingkah laku manusia, sebab semuanya didorong oleh libido
seksual yang terpusat pada id. Dari sini hakikat tujuan hidup manusia menurut
Freud hanya mengejar kenikmatan, hedonism, dan mengembangkan impuls-impuls hawa
nafsunya yang primitif, bukan ingin membangun cinta manusia yang sesungguhnya.
Freud selanjutnya tidak
membedakan antara energy fisik dan energy psikis. Libido yang terpusat pada id
(aspek biologis) merupakan satu-satunya energy yang digunakan oleh aspek psikis
dan fisik secara bergantian. Ini berarti bahwa kehidupan manusia di dunia hanya
sekedar ciptaan alam fisik, digerakkan alam fisik, dan tidak sedikitpun
mengakui peran alam ruhani. Apabila Freud menyebut alam psikis pada struktur
maka sesungguhnya aspek ini bukanlah yang dimaksud dengan aspek ruhani, sebab
Freud tidak mengenal konsep ruhanii dalam teori strukturnya.
Keempat,
ego sebagai pusat kepribadian ternyata tidak
memiliki otonomi dalam bertingkah laku. Kekuatan ego ternyata dikontrol oleh
kekuatan id. Teori inilah yang kemudian dikritik oleh psikolog dari
psikoanalisa kontemporer dan Psiko-Humanistik.
Kelima,
Teori struktur Freud diasumsikan dari manusia yang buruk, yang mana citra buruk
itu diakibatkan oleh ketimpangan sosialnya, misalnya karena peperangan atau
penjajahan.
Psiko-Behavioristik
adalah aliran psikologi yang menekankan teori-teorinya pada perubahan tingkah
laku manusia. Aliran ini dipelopori oleh John Dollard, Skinner, dan Neal E.
Miller. Psiko-Behavioristik menolak struktur kejiwaan manusia yang relatif stabil dan menetap.
Mereka berkeyakinan bahwa tingkah laku seseorang mudah berubah karena
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Menurut Skinner,
keyakinan manusia terhadap suatu agama dan upacara ritual untuk mengagungkan
Tuhan merupakan tingkah laku tahayul dari burung dara yang kelaparan yang
terus-menerus mengulangi gerakan khusus berdasarkan sistem penguatan (reinforcement). Uraian ini menunjukkan
bahwa paham Skinner anti terhadap agama, sehingga teori-teori psikologinya melepas
diri dari norma-norma agama. Kedua,
dinamika struktur kepribadian manusia disamakan dengan dinamika hewan.
Temuan-temuan yang dihasilkan dari penelitian hewan ternyata diaplikasikan
untuk menelaah konsep manusia, padahal tingkah laku hewan dan manusia sangat
jauh berbeda, baik dilihat dari sisi asumsi maupun makna tingkah laku yang
diperbuat. Ketiga, teori strukturnya
diasumsikan dari konsep manusia yang netral (kosong), tidak memiliki potensi bawaan
apapun. Tingkah laku yang ada merupakan wujud dari kebiasaan-kebiasaan yang
dibentuk oleh lingkungan. Keempat,
manusia diibaratkan robot yang selalu deprogram secara deterministik. Teori inilah yang
mendapat kritikan dari Psiko-Humanistik bahwa “teori Psiko-behavioristik
memandang manusia sebagai suatu mesin, yaitu suatu sistem kompleks yang
bertingkah laku menurut cara yang sesuai dengan hukum.”
Teori ini
ditolak oleh Muhammad Iqbal. Ia menyatakan bahwa ide itu muncul dari dalam
(struktur) jiwa manusia, bukan berasal dari relasinya dengan dunia luar. Asumsi
yang mendasarkan konsepnya adalah bahwa manusia sejak lahir telah diberi fitrah
yang fitrah itu mampu membentuk kepribadian. Hal ini menunjukkan bahwa Psiko-Behavioristik
telah menghilangkan dimensi terpenting dalam psikologi, yaitu dimensi jiwa.
Psiko-Humanistik
adalah aliran psikologi yang menekankan kekuatan dan keistimewaan manusia.
Manusia lahir dengan citra dan atribut yang baik dan dipersiapkan untuk berbuat
yang baik pula. Diantara citra baik itu adalah sifat-sifat dan kemampuan khusus
manusia, seperti berfikir, berimajinasi, bertanggungjawab, berestetika,
beretika dan sebagainya. Aliran Psiko-Humanistik sangat menggantungkan teori
strukturnya pada kekuatan manusia (antroposentris),
sehingga hasil teorinya selangkah lagi menjadi ateisme. Aliran ini juga
terkesan menganggap diri manusia sebagai Tuhan (play God), karena manusia dalam menentukan segalanya. Aliran ini
juga memfokuskan penelitiannya ada hubungan antar-manusia, sehingga aliran ini
melupakan kebutuhan agama. Selain itu, aliran ini sering menyebut istilah
spiritual dalam teori strukturnya, namun spiritual yang dimaksud bukanlah
agama, tetapi sebatas pada ketergantungan manusia pada sesuatu yang belum atau
tidak realistik.
Hall dan Lindzey
menyatakan bahwa struktur yang dimunculkan Psiko-Sosial pada prinsipmya
mengembangkan teori ego Freud. Kebutuhan, kecenderungan, gaya hidup, orientasi,
personifikasi dan dinamisme Psiko-Sosial merupakan penjabaran pertahanan ego-Freud
dari segala ancaman-ancamannya. Sama halnya dengan Psiko-Konstitusi Fisik Sheldon.
Mungkinkah sesuatu yang ruhani (psikis) dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang
jasmani (fisik)? Sebab keduanya memiliki orientasi yang berbeda. Sesuatu yang
ruhaniah hanya dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang ruhaniah pula. Kepribadian
merupakan aktualisasi jiwa seseorang yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku
fisik maupun psikis. Dengan demikian, statement “al-‘aql al-salim fi al-jism al-salim” (akal yang sehat terletak
pada badan yang sehat) yang dipengaruhi oleh konsepsi Psiko-Konstitusi Fisik ini
harus ditolak. Statement yang benar adalah al-‘aql
al-salim fi al-qalb al-salim (akal yang sehat terletak ada kalbu yang sehat,
sebab dalam hadits Nabi dinyatakan bahwa kalbu menjadi sentral baik-buruknya
suatu tingkah laku (HR. al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir).
Psiko-Ekistensial
telah menetukan struktur berdasarkan keberadaan empirik manusia dan menempatkan
manusia pada kedudukan humanisnya. Naumn, teori ini belum mampu menjangkau
keberadaan alam pra-kehidupan dunia, seperti kehidupan alam arwah. Demikian
juga belum mampu menyentuh alam pasca kehidupan dunia, seperti kehidupan
akhirat. Kehidupan manusia, bagi Psiko-Eksistensial, tak ubahnya kehidupan
hewani belaka. Ia akan eksis bila telah beraktivitas baik dan akan mendapatkan
kebahagiaan dunia.
C.
Implikasi Fitrah dan Citra Manusia
Konsep fitrah
menunjukkkan citra unik manusia, yang mana citra unik itu menjadi landasan bagi
konstruksi Psikologi Islam. Islam secara empiris-eksperimental belum memiliki
teori-teori psikologis yang mapan. Meskipun demikian, tidak berarti bangunan
psikologi Islam mengadopsi dari teori-teori Psikologi Kontemporer, sebab secara
spekulatif kedua pendekatan itu memiliki kerangka filosofis yang berbeda
tentang hakikat manusia. Citra unik manusia dalam Psikologi Islam dapat
disederhanakan dalam beberapa point berikut ini:
Pertama,
manusia dilahirkan dengan citra yang baik, seperti membawa potensi suci,
ber-Islam, bertauhid, ikhlas, mampu memikul amanah Allah SWT. untuk menjadi
khalifah dan hamba-Nya di muka bumi, dan memiliki potensi dan daya pilih.
Potensi baik tersebut perlu diaktualisasikan dalam tingkah laku yang nyata.
Citra baik tersebut pada mulanya disangsikan oleh malaikat dan iblis, namun
setelah Allah SWT. meyakinkannya maka malaikat percaya akan kemampuan manusia,
sementara iblis dengan kesombongannya tetap mengingkarinya. Jika terdapat
aliran psikologi yang masih menentukan citra buruk manusia, berarti ia
mengikuti persepsi iblis.
Kelebihan citra manusia
dibanding dengan citra makhluk lain dapat diumpamakan seperti dalam “pemilihan
umum” yang merebutkan singgasana amanah atau predikat khalifah Allah SWT. di
muka bumi. Waktu itu terdapat empat partai besar: Pertama, partai malaikat dengan atribut bendera putih (baik); Kedua, partai iblis dengan atribut
bendera hitam (buruk); Ketiga, partai
langit, bumi, dan gunung yang beratribut bendera tidak hitam dan tidak putih
(tidak baik atau tidak buruk); Keempat,
partai manusia yang beratribut bendera putih atau hitam (bias baik bias juga
buruk). Masing-masing mengadakan kampanye agar Allah SWT. memilihnya menjadi
khalifah-Nya.
Dalam firman Allah SWT.
Surat al-Baqarah ayat 30-34 disebutkan bahwa malaikat mencoba meyakinkan Allah
SWT. bahwa manusia memiliki kecenderungan membuat kerusakan di bumi dan
menumpahkan darah. Statement
malaikat tersebut selain menunjukkan citra baik manusia, juga menunjukkan
suprioritas manusia disbanding dengan dirinya. Malaikat terstruktur sebagai
makhluk yang baik dan ia melakukan kebaikan itu sepanjang hidupnya tanpa
melakukan penyelewengan.
Demikian pula, partai
iblis berkampanye bahwa fitrah dirinya lebih baik daripada fitrah manusia. Ia
tercipta dari api, sedang manusia tercipta dari tanah. Api yang menjadi bahan
dasar penciptaan iblis lebih baik naturnya daripada tanah yang menjadi bahan
dasar penciptaan manusia. Allah SWT. Berfirman di dalam Al-Qur’an yang artinya “Aku lebih baik darinya, karena Engkau
ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah” (QS. Shad:
76)
Partai berikutnya
adalah langit, bumi, dan gunung. Dalam QS. al-Ahzab ayat 72 disebutkan bahwa
mereka tidak berkampanye seperti malaikat dan iblis. Karena tidak berkampanye,
justru Allah SWT. menawarkan singgasana amanah untuk menjadi khalifah-Nya,
namun mereka menolaknya, sebab khawatir nantinya mengkhianati amanah tersebut.
Mereka meskipun memiliki tingkat kemusliman yang tinggi (dalam arti selalu
tunduk dan patuh terhadap sunnah-sunnah Allah SWT.), namun mereka tetap
menolaknya, sebab menerima amanah itu memiliki tanggung jawab dan risiko hidup
yang berat.
Terakhir partai adalah
partai manusia. Dengan fitrahnya, manusia bersedia menerima amanah tersebut.
Dalam QS. al-Ahzab ayat 72 disebutkan bahwa penerimaan amanah itu dipandang
sebagai sikap yang sangat zalim dan sangat bodoh. Ikhwan Shafa lebih lanjut
menjelaskan dengan ta’wil batinity.
Menurutnya, penerimaan ruh terhadap amanah di alam perjanjian itu terbagi ada
dua kategori, yaitu (1) ruh yang tahu (‘alim)
dan arif hakikatnya. Kesaksiannya itu salah dan tertolak. Kebodohan ruh
disebabkan oleh kealpahan substansinya terhadap natur badannya yang ditempati
nanti. Badan bernatur kotor dan buruk yang dapat mengotori kesucian ruh.
Apabila ruh terlena oleh kenikmatan badani berarti penerimaannya dianggap
sebagai sangat zalim dan sangat bodoh.
Kedua,
selain jasad, manusia memiliki ruh yang berasal dari Tuhan. Ruh menjadi esensi
kehidupan manusia. Melalui fitrah ruhani maka (1) hakikat manusia tidak hanya
dilihat dari aspek biologis, namun juga dari aspek ruhaniah. Boleh jadi secara
biologis manusia lebih buruk dari Iblis, karena ia tercipta dari tanah sedang
iblis dari api, tetapi secara ruhaniah manusia lebih baik daripada iblis,
bahkan lebih baik daripada malaikat, sebab manusia mampu memikul amanah Allah.
Karena itu, hakikat manusia bukan hewan yang berakal, tetapi manusia adalah
makhluk Allah yang mulia dan berakal. Definisi tersebut menghilangkan
kesubstansian ruh; (2) kebutuhan ruh yang utama adalah agama, yang
teraktualisasi dalam bentuk ibadah. Beragama bukan berarti delusi, ilusi, atau
irasioanal, tetapi menduduki tingkat supra kesadaran manusia. Agama menjadi
frame bagi kehidupan manusia yang menjiwai hidup berbudaya, berekonomi,
berpolitik, bersosial, beretika, dan berestetika. Karena itu, motivasi hidup
hanyalah ibadah (dalam arti yang luas) kepada Allah, sebagai realisasi diri
terhadap amanah Allah SWT.; (3) periode kehidupan manusia bukan hanya diawali
dari pra-natal sampai kematian, tetapi jauh sebelum dan sesudahnya masih
terdapat alam lagi, yaitu alam perjanjian (pra kehidupan dunia), alam dunia,
dan alam akhirat (pasca kehidupan dunia). Semua kehidupan manusia tidak akan
sia-sia. Perbuatan baik yang dilakukan manusia di dunia akan mendapat balasan
yang baik pula di akhirat kelak, meskipun di dunia ua mendapatkan perlakuan
yang tidak adil.
Ketiga,
melaui fitrah nafsani (psikofisik) dalam psikologi Islam maka (1) pusat tingkah
laku adalah kalbu, bukan otak atau jasmani manusia. Selain hal itu didasarkan
ayat hadits Nabi, kalbu merupakan daya nafsani yang paling dekat dengan natur
ruh, yang mana ruh menjandi esensi manusia. Jika kehidupan manusia dikendalikan
oleh peran kalbu maka kehidupannya akan selamat dan bahagia dunia-akhirat; (2)
manusia dapat memperoleh pengetahuan tanpa diusahakan, seperti pengetahuan
intuitif dalam bentuk wahyu dan ilham; (3) tingkat kepribadian manusia tidak
hanya sampai pada humanitas atau sosialitas, tetapi sampai pada ketuhanan.
Tuhan merupakan asal dan tujuan dari segala realitas Inna li Allah wa inna ilayhi rajiun (sesungguhnya kita bagi Allah
dan kepada-Nya kita kembali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Citra manusia yang terdapat dalam psikologi islam ialah manusia
dilahirkan dengan citra yang baik (fitrah). Manusia memiliki ruh yang berasal
dari Tuhan yang mana menjadi esensi kehidupan manusia. Bahwa
pusat tingkah laku manusia adalah kalbu, bukan otak atau jasad manusia. Citra
adalah gambaran tentang diri manusia yang berhubungan dengan kualitas-kualitas
asli manusiawi yang merupakan sunnatullah yang dibawa sejak ia dilahirkan. Kondisi
citra manusia secara potensial tidak dapat berubah, sebab jika berubah maka
eksistensi manusia menjadi hilang. Namun secara aktual,
citra itu dapat berubah sesuai dengan kehendak dan pilihan manusia sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. (2003). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press - PT Raja
Grafindo Persada